Harap

Di kompleks rumah saya ada dua masjid. Jalur menuju salah satunya adalah jalan aspal yang singkat, sementara untuk mencapai yang satu lagi saya harus melalui lapangan penuh ilalang dan semak-semak atau mengambil jalan memutar yang jauh.

Saya pun teringat dengan ajaran guru agama saya di SD dulu. “Makin banyak kesukaran yang kita tempuh dalam perjalanan ke masjid, makin besar pahala kita,” kira-kira begitu katanya.

Saat itu saya bertanya; “Bagaimana dengan orang yang rumahnya tepat di sebelah masjid? Kasihan, pahalanya pasti lebih kecil dari orang-orang lain.”

“Orang itu akan menemukan jalan lain untuk mendapat pahala.”

“Oooo,” gumam saya seraya mengangguk-angguk, pura-pura mengerti.

Andai guru agama saya ada di sini sekarang. Ingin saya minta nasehatnya, masjid mana di kompleks saya yang harus saya datangi untuk Shalat Jum’at.

Path

***

Jadi, apa baik bagimu untuk terus seperti sekarang ini? Bermalas-malasan seperti ini? Hanya mengikuti arus hidupmu sendiri?

“Saya rasa tidak ada salahnya mencari cara yang paling mudah. Saya sudah berusaha memenuhi segala kewajiban. Saya menghindari segala pelanggaran.”

Itu menurutmu. Bukankah kita harus selalu berbuat lebih? Apa kau tak ingin berjuang untuk mencapai akhir yang lebih baik?

“Saya hanya ingin hidup dengan damai. Saya tak ingin konfrontasi. Saya tak perlu Surga Firdaus, asalkan saya tidak jatuh ke Neraka Jahannam.”

Aneh. Jadi kamu hanya akan diam tak bergerak? Apakah kamu benar-benar percaya bahwa segalanya akan terus berjalan lancar untukmu?

“Tentu tidak. Saya tidak diam; saya terus mencari. Namun dengan terus mencari itulah saya semakin sadar akan kesia-siaan saya. Mungkin akan datang saatnya saya harus memutuskan.”

Mengapa berlama-lama? Mengapa tidak sekarang?

“Saya akui saya takut. Saya takut berkomitmen dan saya takut salah jalan. Untuk saat ini, saya hanya mengikuti jalan saya sendiri, dengan logika saya sendiri. Paling tidak dengan begitu, saya tak akan menyesal.”

Bagaimana kalau Tuhan hanya sudi menunggu di ujung satu jalan secara spesifik? Tidak takutkah kamu akan hal itu?

“Saya hanya berharap Tuhan lebih rasional dari itu.”

Rasio, rasio, rasio. Seolah kamu lebih menuhankan rasio daripada Tuhanmu sendiri. Apa kamu tidak sadar bahwa Tuhan tak bisa diukur dengan rasio? Apa kamu tidak maklum bahwa rasio tiap orang berbeda? Mengapa kau begitu yakin bahwa rasiomu yang paling tepat?

“Saya hanya bisa berdoa: semoga saya terhindar dari rasa sombong.”

***

Di kompleks rumah saya ada dua masjid. Jalur menuju salah satunya adalah jalan aspal yang singkat, sementara untuk mencapai yang satu lagi saya harus melalui lapangan penuh ilalang dan semak-semak atau mengambil jalan memutar yang jauh.

Andai guru agama saya ada di sini sekarang. Ingin saya tanyakan pendapatnya, tepatkah jalur yang saya pilih menuju masjid.

18 Tanggapan to “Harap”

  1. calupict Says:

    Tanyain aja.

  2. Scrooge McDuck Says:

    … Itu kalau dia ada di sini kan? 🙄

  3. sora9n Says:

    Bagaimana kalau Tuhan hanya sudi menunggu di ujung satu jalan secara spesifik? Tidak takutkah kamu akan hal itu?

    “Saya hanya berharap Tuhan lebih rasional dari itu.”

    Tuhan kan maha cerdas… 😀

  4. Mr. Geddoe Says:

    Ah, artikel berbau filsafat! Rasanya hampir semua manusia memiliki ketakutan yang sama, yang tidak memilikinya hanya yang malas dan takut berpikir.

    Saya akan memakai prinsip bapak saja. Do rights, no regrets.

    (Kalau konsep fundamental itu benar, saya harap Tom Morello atau Rena Tanaka akan dipanggang di sebelah saya.)

  5. Shan-in Lee Says:

    Andai guru agama Unca Scrooge juga ikutan Blogging. 😆

    Lagi-lagi dilema pengambilan keputusan… – -a

  6. Rizma Adlia Says:

    “Orang itu akan menemukan jalan lain untuk mendapat pahala.”

    kalo buat guru agama jaman SD Ma dulu,, i would settle for this extra line,,

    Mengapa berlama-lama? Mengapa tidak sekarang?

    “Saya akui saya takut. Saya takut berkomitmen dan saya takut salah jalan. Untuk saat ini, saya hanya mengikuti jalan saya sendiri, dengan logika saya sendiri. Paling tidak dengan begitu, saya tak akan menyesal.”

    Ma ga ngerti yang ini,,

    dan Ma setuju, tuhan kan Maha-apapun itu,,

  7. Scrooge McDuck Says:

    Lagi-lagi dilema pengambilan keputusan… – -a

    Sebenarnya tidak juga. Keputusannya sih sedikit banyak sudah diambil. Yang tersisa adalah kekhawatiran akan hasil akhirnya. Dan mungkin akan tiba saatnya saya harus berpindah jalan. Begitulah kira-kira.

    Saya akan memakai prinsip bapak saja. Do rights, no regrets.

    (Kalau konsep fundamental itu benar, saya harap Tom Morello atau Rena Tanaka akan dipanggang di sebelah saya.)

    Hohoho! Kalau begitu sih, benar-benar no regrets ya?

    Ma ga ngerti yang ini,,

    Yah, tidak usah mengerti juga tidak apa-apa kok. Anggap saja racauan tak jelas orang yang sedang gundah.

    Tuhan kan maha cerdas…

    dan Ma setuju, tuhan kan Maha-apapun itu,,

    Ya, yang saya butuhkan adalah peneguhan. :mrgreen:

  8. peyek Says:

    Dialog sederhana tapi juga tak pernah menemukan jawaban atas kesederhanan dialog seperti ini, apa memang malas mikir ya?

  9. p4ndu_454kura Says:

    “Saya akui saya takut. Saya takut berkomitmen dan saya takut salah jalan. Untuk saat ini, saya hanya mengikuti jalan saya sendiri, dengan logika saya sendiri. Paling tidak dengan begitu, saya tak akan menyesal.”

    Wah, kalau begitu kamu butuh salah satu dari motto favoritku. Liat aja selengkapnya di blogku, tepatnya di sebelah kanan atas 🙂

  10. kopidangdut Says:

    kalo lu punya tuh rumah deket banget ama tuh namenye mesjit, lu kudu banyak sabar, soalnya tuh TOA suka seenak udel aja disetel kenceng2..kalo lu lulus sama kayak ginian, lu uda dpt pahala..

  11. Scrooge McDuck Says:

    Dialog sederhana tapi juga tak pernah menemukan jawaban atas kesederhanan dialog seperti ini, apa memang malas mikir ya?

    Tidak apa-apa kok, Pak. Saya sendiri juga bingung dan kesulitan kalau disuruh merenung.

    Wah, kalau begitu kamu butuh salah satu dari motto favoritku. Liat aja selengkapnya di blogku, tepatnya di sebelah kanan atas

    Kok rasanya kurang cocok, ya? 😛

    kalo lu punya tuh rumah deket banget ama tuh namenye mesjit, lu kudu banyak sabar, soalnya tuh TOA suka seenak udel aja disetel kenceng2..kalo lu lulus sama kayak ginian, lu uda dpt pahala..

    Wah, kalau kedua masjid di dekat rumah saya sih, suara toanya tidak keras dan ribut jadi saya tidak keberatan.

  12. pramur Says:

    Numpang nimbrung nih Mas…
    Setuju dengan Mr.Geddoe, tulisan ini berbau fisafat. 🙂
    Gitu aja kok dipikirkan to Mas? Yg penting berangkat dulu ke masjid.. hehehe..

    Djaman Nabi Moesa dahoeloe, Tuhan pernah memerintahkan umat Bani Israil untuk memotong sapi. Nah, dasar yahudi, kebanyakan tanya. Aselinya, mereka-mereka ini pelit banget untuk berkorban sapi. Padahal sudah jelas, sapi macam apa yang disuruh Allah untuk dipotong..

    Semoga menjadi bahan renungan kita semua

  13. Scrooge McDuck Says:

    Ke masjid-nya sih pasti. Tapi kalau di masjid jadi terpikir terus, tak khusuk lah shalatku.

    Namun, ya, saya memang manusia yang terlalu banyak berpikir. Sampai seringkali tidak sempat beraksi.

  14. elzafir Says:

    Gimana kalau naik mobil ke mesjid?
    Atau naik helicopter? Pahalanya lebih dikit?

    Gimana kalau lewat jalan biasa, tapi tengkurep dan jalan gaya ulet….
    Makin gede gak pahalanya?

    Menurut gua, klo ada yg gampang, ngapain disusahin?

  15. irvan132 Says:

    Mending yang deket lah, Mas. Terus datengnya tepat waktu. Tepat saat azan berkumandang, baru dateng. hahahaha

    -IT-

  16. irdix Says:

    ikut jamaah via video conference aja..

    ato pergi ke bengkel, ato ke warung kopi.. hmm.. yg ke warung yg aq sarankan.

  17. Jabz Says:

    jangan takut.

  18. luthfox Says:

    ^
    ^
    ^
    @Elzafir: luar biasa

Tinggalkan komentar